Senyawa : Menyaksikan Dasawarsa Pertama di Milenium Ketiga

Hitungan waktu dalam rentang 10 tahun biasa kita sebut dengan dekade atau bisa juga disebut dengan sebutan dasawarsa. Satu dasawarsa dimulai pada hitungan tahun yang berakhir dengan angka 0 dan berakhir pada tahun yang berangka 9. Tahun ini, 2020 menjadi sebuah penanda hitungan baru dalam hitungan millennium, kita kini berada di millennium ke tiga sejak tahun 2000.
Memulai dasawarsa yang baru ini saya dihantui oleh ketakutan dan kekhawatiran. Belum genap bulan Januari ini diakhiri saya merasa dipertontonkan banyak hal yang mengerikan setiap harinya. Dimulai Kegaduhan terbunuhnya pejabat militer Iran oleh serangan militer Amerika, meningkatkan permusuhan laten Amerika-Iran yang merembet pada asumsi akan pecahnya perang dunia ke tiga, lalu bencana yang terjadi diberbagai tempat, dari banjir Jakarta yang tak usai-usai sampai kebakaran hebat yang melanda Australia, dan masih banyak orang berjuang mendapatkan haknya yangterenggut oleh rezim oligarki dan kapitalis. Sial, itu baru tiga yang bisa saya tuliskan tentang hal yang mengerikan yang saya lihat. Diluar kejadian-kejadian tersebut tentu banyak dharma atau kebaikan yang terjadi setiap harinya. Cukup disitu, jika terus menerus menuliskan kejadian itu saya akan lupa bahwa akan menulis tentang konser Senyawa dalam tajuk “Dasawarsa Pertama”.
Dalam tulisan pengantar tur ini, bagi Senyawa, Dasawarsa pertama ini bukan hanya menghargai tentang perjalanan yang telah dilewati, tetapi juga untuk memberi tanda apa yang akan dijalani, sepuluh tahun kedepan. Mereka pun berpandangan, ditengah derasnya arus informasi, carut marutnya dunia, hal dan upaya yang dilakukan sekecil apapun untuk bisa mandiri dan punya daya hidup adalah sesuatu yang harus terus menerus dijalani dan dilakukan.
Helatan tur Senyawa di Bandung sendiri diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Space (18/01) setelah sebelumnya dibuka di Gudskul, Jakarta, dan akan berakhir di Jatiwangi Art Factory. Di Bandung, Senyawa didampingi band pembuka yakni AstoneA, sebuah band yang beranggota Muhammad Akbar, Erwin “ewink” Windu Pranata dan Mufti “amenk” Priyanka. AstoneA tampil dengan berbagai instrument, pada track pembuka Ewink memegang sebuah sapu yang Ewink sebut sebagai “Tarkam” (read: gitar kampung) yang telah dia gubah menjadi instrument gitar, lalu amenk berdiri didepan kanvas melakukan eksplorasi bunyi yang dia buat dengan kanvas, sedangkan Akbar duduk berkemeja batik didepan sebuah laptop.

AstoneA membawakan dua komposisi musik malam itu, “Tertidur” dan “Isyarat Kemapanan”, diperform terakhir Ewink sudah berpindah instrument dengan sebuah keryboard yang dikalungkan di lehernya, dan memaikan set drum electric. Amenk melakukan sebuah perform dengan menutupi seluruh badannya menggunakan kain hitam, sepanjak track musik membacakan cerita stensilan karya Enny Arrow. Sungguh memukau nan kontemporer sajian dari pembuka dari AstoneA.
Senyawa: Perjalanan Dasawarsa yang Baru.
Jika saya boleh mengutip pernyataan Prof Bambang Sugiharto pada sambutan diakhir konser Dasawarsa Pertama, pak Bambang berkata, “geraman primitiif dengan kecanggihan sufistik”. Bagaimana saya tidak setuju dengan pernyataan pak bambang memberikan sebuah pernyataan terhadap penampilan Senyawa malam itu. Sebuah perpaduan yang menciptakan sebuah karya musik yang entitasnya tidak akan bisa dibandingkan.
Senyawa malam itu bermain disebuah Pendapa (read: Pendopo) dibagian Bale Handap, Selasar Sunaryo. Pukul 20.30 Senyawa mulai memainkan nomor lagu “Terberkatilah Tanah Ini”. Wukir memainkan gitar pada nomor lagu ini. Diatas panggung Wukir memainkan empat instrument pada nomor lagu “Air, Hadirilah Suci, dan Pada Siang Hari” dia memainkan Bambu Wukir. Lalu pada nomor lagu “Bekal Ilmu, Putra Ombak, dan Di Kala Sudah” dia menggunakan Solet, dan pada dua nomor lagu “Everything dan Hidup Damai” menggunakan instrumen bernama Mutant. Wukir dan setiap intrumen yang dia mainkan merupakan elemen magis dari Senyawa.
Disisi lain, Rully Shabara membawakan semua nomor lagu dengan prima dengan teknik vocal yang dia kuasai dalam seluruh lagu Senyawa. Dua set mic biasa dia gunakan untuk mengahasilkan beberapa suara, dengan efek looping, desing,dll. Melihat apa yang dipertunjukan oleh Rully dengan suaranya, saya mengamati detail setiap dia menarik nafas, merapalkan lirik, sampai ke detail tatapan mata dan memainkan jari tangannya, saya rasa dia sangat mengagumkan.

Set Senyawa pada konser “Dasawarsa Pertama” malam itu didominasi album Sujud, lalu album Reharsal Session yang baru saja dirilis oleh Orangecliff Records, lalu beberapa lagu di album Menjadi, beberapa lagu dari album Acaraki dan selain itu ada beberapa lagu dari album — album kolaborasi seperti lagu Anak Kijang yang ada dalam album “I Said No Doctors” bikinan Dymaxion Groove sebuah label dari New York.
Dua puluh nomor lagu tuntas dibawakan oleh Rully dan Wukir malam itu, tuntas. Apa yang saya rasakan?Saya atau mungkin orang-orang yang menyaksikan Senyawa malam itu takjub tak terbantahkan. Sebuah sajian musik yang sangat berkualitas. Menyaksikan langsung mereka bisa dibilang sebuah keberuntungan, karena belum sebanyak panggung mereka seperti diluar Indonesia. Semua elemen penampilan dan suasana pendopo di Selasar Sunaryo membuat saya terkesan dan bergidik kagum. Menyaksikan panggung live mereka adalah sebuah keharusan, jika itu sekali dalam seumur hidup.
Diakhir, setelah menyaksikan konser “Dasawarsa Pertama”, saya melakukan refleksi dari pernyataan yang telah Senyawa buat, bagi saya menyaksikan Senyawa di Dasawarsa yang baru, adalah sebuah hal yang baik ditengah hal-hal yang membuat saya tidak nyaman. Dasawarsa Pertama menjadi awal sebuah perjalanan yang baik.
Bandung, Januari 2020
Insan Kamil